Senin, 20 Januari 2014

CERAMAH DI KAMPUNG JIN
Kutipan dari Abdul Madjid

Kisah nyata ini dituturkan KH Ahmad Rais Abdillah, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung, kepada penulis, beberapa tahun silam. KH Ahmad Rais Abdillah atau yang biasa disapa Abah Rais adalah pelaku dalam kisah ini.
Keberadaan Negeri Jin atau kampung jin bagi orang awam bagaikan dongeng, karena sulit diterima akal. Tapi, bagi seorang Kyai yang menguasai ilmu hikmah dan sudah mencapai tataran spiritual tingkat tinggi (makrifat), bergaul dengan bangsa jin bukanlah hal luar biasa. Bagi mereka bangsa jin tak ubahnya manusia seperti kita yang hidup bermasyarakat, punya toko, punya sawah, dan lain-lain.
Ketika suatu hari penulis bersilaturrahmi ke pesantren milik Abah Rais, di Desa Arjosari, Kecamatan Ambarawan, Kabupaten Pringsewu (ketika itu masih masuk Kab. Tanggamus), Lampung, tahun 1997, beliau menuturkan pengalaman uniknya diundang berceramah dalam acara khitanan salah satu keluarga jin Islam di Pulau Tabuan, Kabupaten Tanggamus.
Pulau Tabuan adalah salah satu pulau dari beberapa pulau yang terdapat di Teluk Semangka, Kabupaten Tanggamus. Pulau Tabuan berjarak sekitar 5 jam perjalanan laut dari dermaga Kotaagung, ibukota Kabupaten Tanggamus, atau 3 jam perjalanan laut dari Putih Doh, Kecamatan Cukuhbalak, Tanggamus.
Suatu malam usai sholat Maghrib, tutur Abah Rais, dia kedatangan tamu yang mengaku dari Pulau Tabuan. Tamu yang datang itu laiknya manusia biasa, mengenakan peci, pakai sarung dan baju koko. Dia datang ke pondok pesantren Abah Rais ini mengendarai sepeda onthel.
Abah Rais menerima tamunya itu dengan ramah sebagaimana beliau menerima tamu-tamu lainnya. Setelah ngobrol berbasa-basi ala kadarnya, si tamu mengutarakan maksud kedatangannya. Dia mengaku diutus oleh tetangganya untuk meminta kesediaan Abah Rais memberikan tausiah pada acara khitanan malam itu. Si tamu meminta kesediaan Abah Rais malam itu juga berangkat bersamanya ke Pulau Tabuan.
Meski diliputi tanda tanya Abah Rais bersedia memenuhi undangan yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh, biasanya orang mengundang seorang Kyai jauh sebelum jadwal acara. Nah, ini malam itu mau diadakan pesta khitanan malah baru mengundang.
“Kami berangkat meninggalkan pondok menjelang waktu sholat Isya’. Orang yang menjemput saya itu mengendarai sepeda onthel, saya dibonceng. Kami berangkat menuju Pulau Tabuan mengendarai sepeda itu,” tutur Abah Rais.
Pada saat itu, kata Abah Rais, dia tidak menyadari bahwa tujuan mereka adalah sebuah pulau dan harus melewati laut Teluk Semangka. Abah Rais seakan dibuat lupa akan keberadaan pulau tersebut sehingga mau diajak bonceng sepeda onthel.
“Pada awal perjalanan saya belum menyadari kalau yang membonceng saya adalah bangsa jin Islam,” kata Abah Rais. Namun, ketika perjalanan semakin jauh meninggalkan pondok pesantren keanehan mulai terlihat. Abah Rais merasa laju sepeda semakin lama makin cepat. Yang lebih aneh lagi Abah Rais melihat jalan yang mereka lalui makin lama makin tinggi sehingga pohon-pohon berada di bawah mereka. Dan ketika melintasi Teluk Semangka Abah Rais melihat jelas laut dan mendengar deru ombak di bawahnya.
Melihat kenyataan itu Abah Rais baru menyadari bahwa dirinya dibawa oleh jin Islam menuju Pulau Tabuan. Sempat terlintas di pikirannya praduga bahwa jin itu bukan mengundang dirinya menghadiri pesta khitanan tapi untuk tujuan lain. Meskipun demikian Kyai yang pernah menjalani laku 'ngedan' selama satu tahun di Jawa itu, memasrahkan dirinya kepada Allah SWT.
Tak berapa lama merekapun tiba di daratan Pulau Tabuan dan mereka langsung menuju sebuah rumah di salah satu kampung di pesisir pulau itu. Rupanya si penjemput benar-benar membawanya ke rumah orang yang sedang menggelar hajatan, karena di sana terlihat tamu-tamu sudah berdatangan dan duduk di kursi-kursi di bawah sebuah tenda.
Bersamaan kedatangan mereka di kampung di Pulau Tabuan itu, terdengar suara adzan pertanda sholat Isya sudah tiba waktunya. Di sini Abah Rais menyadari keanehan kedua setelah naik sepeda di angkasa, yakni waktu tempuh dari pesantrennya ke Pulau Tabuan ini begitu singkat. Padahal bila perjalanan manusia biasa bisa dua hari mengendarai sepeda dan disambung naik kapal laut. Kedatangan Abah Rais bersama penjemputnya itu disambut hangat oleh tuan rumah dan warga kampung. Mereka lalu menuju masjid dan sholat berjamaah.
Usai sholat berjamaah di masjid di kampung jin itu Abah Rais pun didaulat menyampaikan tausiah untuk mengisi acara hajatan khitanan putera tuan rumah. “Saya diminta menyampaikan ceramah tentang keutamaan khitan bagi kaum laki-laki muslim,” kata Abah Rais.
“Cukup lama saya menyampaikan ceramah, kurang lebih dua jam sampai-sampai saya lupa kalau saat itu saya berceramah di hadapan masyarakat jin Islam.” Tutur Abah Rais.
Abah Rais baru ingat dirinya berada di kampung jin muslim saat minta diantar pulang ketika dia melihat keanehan di tengah-tengah para tamu. Saat Abah Rais mengutip salah satu ayat Al Quran (penulis lupa suratnya), tiba-tiba orang-orang yang duduk di kursi di hadapan Abah Rais bergoyang-goyang dan bersamaan dengan itu terlihat berbagai perubahan. Para tamu itu ternyata duduk di kursi yang berada di atas air laut. Mereka bergoyang karena getaran ombak laut, kata Abah Rais mengenang.
“Saat melihat keganjilan itu saya langsung menghentikan tausiah dan minta segera diantar pulang ke pondok pesantren,” ujar Abah Rais. Tuan rumah pun segera menyuruh salah seorang di antara keluarganya untuk mengantar pulang Abah Rais. Ternyata mereka adalah jin laut yang kampungnya berada persis di bibir pantai, kata Abah Rais.
Sebagai tanda terima kasih, tutur Abah Rais, tuan rumah memberinya oleh-oleh berupa makanan yang ditaruh diwadahi keranjang terbuat dari daun. Makanan itu berupa lambangsari, pisang goreng, dan beberapa penganan lain berbahan perpaduan pisang dan tepung.
Selain membekali oleh-oleh berupa makanan pesta, tuan rumah bangsa jin itu menyelipkan sesuatu di kantung baju koko Abah Rais, yang ternyata selembar uang Rp.5.000.
Kue Tak Habis-habis
Banyak keganjilan yang dialami Abah Rais pada malam itu. Yang pertama dia dibonceng naik sepeda yang meluncur di udara, lalu melihat tamu-tamu yang duduk terombang-ambing di atas ombak. Dan, yang tak kalah aneh, tutur Abah Rais, kue yang dibawanya pulang dan langsung dibagikan kepada para santri tak habis-habis meskipun telah dimakan ratusan orang.
“Padahal wadah kue dari sana ukurannya dua kali ukuran besek (bakul kecil dari kulit bamboo, red). Dipandang secara akal isinya tidak seberapa, tapi nyatanya hampir semua santri saya kebagian memakannya, itu pun sampai pagi belum habis,” tutur pak Kyai.
Seorang santri senior di pesantren Abah Rais, Zainal Arifin, yang ikut mencicipi kue bawaan Abah Rais dari kampung jin Pulau Tabuan itu, mengatakan, ukuran kuenya lebih besar dibanding kue lambangsari buatan manusia
“Pisang gorengnya juga berukuran besar,” kata Rifin, yang sekarang sudah menjadi kepala desa di salah satu kampung di Suoh, Lampung Barat, itu.
Sempat Terjadi Insiden
Perjalanan ke negeri jin di Pulau Tabuan itu ternyata tidak berjalan mulus. Ketika berangkat tidak terjadi apa-apa. Perjalanan lancar dan tiba dengan aman di tempat tujuan. Tetapi, ketika pulang sempat terjadi insiden antara Abah Rais dengan jin yang mengantarnya pulang.
Jin yang mengantar pulang ini ternyata tergolong jin nakal dan tidak amanah. Padahal dia dipesan wanti-wanti oleh tuan rumah untuk mengantar Abah Rais sampai ke rumahnya di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Ambarawa, Pringsewu, Lampung. Jin nakal ini menurunkan dan meninggalkan Abah Rais di sebuah hutan lebat.
“Saya tidak tahu di hutan mana. Ketika jin itu meninggalkan saya begitu saja tanpa memberi tahu dimana. Karena kesal saya berteriak mengancam akan menghancurkan dia dan kampung halamannya kalau tidak mengantar saya sampai ke rumah,” kata Abah Rais.
Rupanya jin nakal itu takut mendengar ancaman Kyai sakti itu, dia segera kembali ke tempat Abah Rais ditinggalkannya tadi. Jin itu memohon maaf kepada Abah Rais dan menyatakan bersedia mengantar pulang. Tak lama Abah Rais pun tiba di pondoknya.
(Catatan: Kisah ini dituturkan Abah Rais kepada penulis pada tahun 1997. Abah Rais meninggal dunia karena sakit, tahun 2008, di pondok pesantren asuhannya.)

1 komentar: