Kutipan dari Abdul Madjid
Kisah nyata
ini dituturkan KH Ahmad Rais Abdillah, pengasuh Pondok Pesantren
Tahfidzul Quran, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung,
kepada penulis, beberapa tahun silam. KH Ahmad Rais Abdillah atau yang
biasa disapa Abah Rais adalah pelaku dalam kisah ini.
Keberadaan
Negeri Jin atau kampung jin bagi orang awam bagaikan dongeng, karena
sulit diterima akal. Tapi, bagi seorang Kyai yang menguasai ilmu hikmah
dan sudah mencapai tataran spiritual tingkat tinggi (makrifat), bergaul
dengan bangsa jin bukanlah hal luar biasa. Bagi mereka bangsa jin tak
ubahnya manusia seperti kita yang hidup bermasyarakat, punya toko, punya
sawah, dan lain-lain.
Ketika suatu hari penulis bersilaturrahmi ke
pesantren milik Abah Rais, di Desa Arjosari, Kecamatan Ambarawan,
Kabupaten Pringsewu (ketika itu masih masuk Kab. Tanggamus), Lampung,
tahun 1997, beliau menuturkan pengalaman uniknya diundang berceramah
dalam acara khitanan salah satu keluarga jin Islam di Pulau Tabuan,
Kabupaten Tanggamus.
Pulau Tabuan adalah salah satu pulau dari
beberapa pulau yang terdapat di Teluk Semangka, Kabupaten Tanggamus.
Pulau Tabuan berjarak sekitar 5 jam perjalanan laut dari dermaga
Kotaagung, ibukota Kabupaten Tanggamus, atau 3 jam perjalanan laut dari
Putih Doh, Kecamatan Cukuhbalak, Tanggamus.
Suatu malam usai sholat
Maghrib, tutur Abah Rais, dia kedatangan tamu yang mengaku dari Pulau
Tabuan. Tamu yang datang itu laiknya manusia biasa, mengenakan peci,
pakai sarung dan baju koko. Dia datang ke pondok pesantren Abah Rais ini
mengendarai sepeda onthel.
Abah Rais menerima tamunya itu dengan
ramah sebagaimana beliau menerima tamu-tamu lainnya. Setelah ngobrol
berbasa-basi ala kadarnya, si tamu mengutarakan maksud kedatangannya.
Dia mengaku diutus oleh tetangganya untuk meminta kesediaan Abah Rais
memberikan tausiah pada acara khitanan malam itu. Si tamu meminta
kesediaan Abah Rais malam itu juga berangkat bersamanya ke Pulau Tabuan.
Meski diliputi tanda tanya Abah Rais bersedia memenuhi undangan yang
aneh itu. Bagaimana tidak aneh, biasanya orang mengundang seorang Kyai
jauh sebelum jadwal acara. Nah, ini malam itu mau diadakan pesta
khitanan malah baru mengundang.
“Kami berangkat meninggalkan pondok
menjelang waktu sholat Isya’. Orang yang menjemput saya itu mengendarai
sepeda onthel, saya dibonceng. Kami berangkat menuju Pulau Tabuan
mengendarai sepeda itu,” tutur Abah Rais.
Pada saat itu, kata Abah
Rais, dia tidak menyadari bahwa tujuan mereka adalah sebuah pulau dan
harus melewati laut Teluk Semangka. Abah Rais seakan dibuat lupa akan
keberadaan pulau tersebut sehingga mau diajak bonceng sepeda onthel.
“Pada awal perjalanan saya belum menyadari kalau yang membonceng saya
adalah bangsa jin Islam,” kata Abah Rais. Namun, ketika perjalanan
semakin jauh meninggalkan pondok pesantren keanehan mulai terlihat. Abah
Rais merasa laju sepeda semakin lama makin cepat. Yang lebih aneh lagi
Abah Rais melihat jalan yang mereka lalui makin lama makin tinggi
sehingga pohon-pohon berada di bawah mereka. Dan ketika melintasi Teluk
Semangka Abah Rais melihat jelas laut dan mendengar deru ombak di
bawahnya.
Melihat kenyataan itu Abah Rais baru menyadari bahwa
dirinya dibawa oleh jin Islam menuju Pulau Tabuan. Sempat terlintas di
pikirannya praduga bahwa jin itu bukan mengundang dirinya menghadiri
pesta khitanan tapi untuk tujuan lain. Meskipun demikian Kyai yang
pernah menjalani laku 'ngedan' selama satu tahun di Jawa itu,
memasrahkan dirinya kepada Allah SWT.
Tak berapa lama merekapun tiba
di daratan Pulau Tabuan dan mereka langsung menuju sebuah rumah di
salah satu kampung di pesisir pulau itu. Rupanya si penjemput
benar-benar membawanya ke rumah orang yang sedang menggelar hajatan,
karena di sana terlihat tamu-tamu sudah berdatangan dan duduk di
kursi-kursi di bawah sebuah tenda.
Bersamaan kedatangan mereka di
kampung di Pulau Tabuan itu, terdengar suara adzan pertanda sholat Isya
sudah tiba waktunya. Di sini Abah Rais menyadari keanehan kedua setelah
naik sepeda di angkasa, yakni waktu tempuh dari pesantrennya ke Pulau
Tabuan ini begitu singkat. Padahal bila perjalanan manusia biasa bisa
dua hari mengendarai sepeda dan disambung naik kapal laut. Kedatangan
Abah Rais bersama penjemputnya itu disambut hangat oleh tuan rumah dan
warga kampung. Mereka lalu menuju masjid dan sholat berjamaah.
Usai
sholat berjamaah di masjid di kampung jin itu Abah Rais pun didaulat
menyampaikan tausiah untuk mengisi acara hajatan khitanan putera tuan
rumah. “Saya diminta menyampaikan ceramah tentang keutamaan khitan bagi
kaum laki-laki muslim,” kata Abah Rais.
“Cukup lama saya
menyampaikan ceramah, kurang lebih dua jam sampai-sampai saya lupa kalau
saat itu saya berceramah di hadapan masyarakat jin Islam.” Tutur Abah
Rais.
Abah Rais baru ingat dirinya berada di kampung jin muslim saat
minta diantar pulang ketika dia melihat keanehan di tengah-tengah para
tamu. Saat Abah Rais mengutip salah satu ayat Al Quran (penulis lupa
suratnya), tiba-tiba orang-orang yang duduk di kursi di hadapan Abah
Rais bergoyang-goyang dan bersamaan dengan itu terlihat berbagai
perubahan. Para tamu itu ternyata duduk di kursi yang berada di atas air
laut. Mereka bergoyang karena getaran ombak laut, kata Abah Rais
mengenang.
“Saat melihat keganjilan itu saya langsung menghentikan
tausiah dan minta segera diantar pulang ke pondok pesantren,” ujar Abah
Rais. Tuan rumah pun segera menyuruh salah seorang di antara keluarganya
untuk mengantar pulang Abah Rais. Ternyata mereka adalah jin laut yang
kampungnya berada persis di bibir pantai, kata Abah Rais.
Sebagai
tanda terima kasih, tutur Abah Rais, tuan rumah memberinya oleh-oleh
berupa makanan yang ditaruh diwadahi keranjang terbuat dari daun.
Makanan itu berupa lambangsari, pisang goreng, dan beberapa penganan
lain berbahan perpaduan pisang dan tepung.
Selain membekali
oleh-oleh berupa makanan pesta, tuan rumah bangsa jin itu menyelipkan
sesuatu di kantung baju koko Abah Rais, yang ternyata selembar uang
Rp.5.000.
Kue Tak Habis-habis
Banyak keganjilan yang dialami
Abah Rais pada malam itu. Yang pertama dia dibonceng naik sepeda yang
meluncur di udara, lalu melihat tamu-tamu yang duduk terombang-ambing di
atas ombak. Dan, yang tak kalah aneh, tutur Abah Rais, kue yang
dibawanya pulang dan langsung dibagikan kepada para santri tak
habis-habis meskipun telah dimakan ratusan orang.
“Padahal wadah kue
dari sana ukurannya dua kali ukuran besek (bakul kecil dari kulit
bamboo, red). Dipandang secara akal isinya tidak seberapa, tapi nyatanya
hampir semua santri saya kebagian memakannya, itu pun sampai pagi belum
habis,” tutur pak Kyai.
Seorang santri senior di pesantren Abah
Rais, Zainal Arifin, yang ikut mencicipi kue bawaan Abah Rais dari
kampung jin Pulau Tabuan itu, mengatakan, ukuran kuenya lebih besar
dibanding kue lambangsari buatan manusia
“Pisang gorengnya juga
berukuran besar,” kata Rifin, yang sekarang sudah menjadi kepala desa di
salah satu kampung di Suoh, Lampung Barat, itu.
Sempat Terjadi Insiden
Perjalanan ke negeri jin di Pulau Tabuan itu ternyata tidak berjalan
mulus. Ketika berangkat tidak terjadi apa-apa. Perjalanan lancar dan
tiba dengan aman di tempat tujuan. Tetapi, ketika pulang sempat terjadi
insiden antara Abah Rais dengan jin yang mengantarnya pulang.
Jin
yang mengantar pulang ini ternyata tergolong jin nakal dan tidak amanah.
Padahal dia dipesan wanti-wanti oleh tuan rumah untuk mengantar Abah
Rais sampai ke rumahnya di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Ambarawa,
Pringsewu, Lampung. Jin nakal ini menurunkan dan meninggalkan Abah Rais
di sebuah hutan lebat.
“Saya tidak tahu di hutan mana. Ketika jin
itu meninggalkan saya begitu saja tanpa memberi tahu dimana. Karena
kesal saya berteriak mengancam akan menghancurkan dia dan kampung
halamannya kalau tidak mengantar saya sampai ke rumah,” kata Abah Rais.
Rupanya jin nakal itu takut mendengar ancaman Kyai sakti itu, dia
segera kembali ke tempat Abah Rais ditinggalkannya tadi. Jin itu memohon
maaf kepada Abah Rais dan menyatakan bersedia mengantar pulang. Tak
lama Abah Rais pun tiba di pondoknya.
(Catatan: Kisah ini dituturkan
Abah Rais kepada penulis pada tahun 1997. Abah Rais meninggal dunia
karena sakit, tahun 2008, di pondok pesantren asuhannya.)